Kufur
Ar-Risalatul Qusyairiyah fi 'Ilmit Tashawwuf |
Seorang ulama besar, Al-Wasithi suatu saat ditanya tentang
arti kufur pada Allah. Ia menjawab
bahwa kufur dan iman, dunia dan akhirat adalah sari, menuju, dengan, dan bagi Allah. Dari Allah segala permulaan dan susunan, kepada-Nya tempat kembali dan berakhir, bersama-Nya sesuatu yang tetap dan lenyap, dan bagi-Nya semua kerajaan dan ciptaan.
Menurut Al-Junaid, ada seorang ulama ditanya
tentang tauhid, dia menjawab, “Keyakinan”.
Penanya itu minta kejelasan lagi, lalu dijawab oleh beliau, “Yakni, ma’rifatmu
(pengetahuanmu) bahwa semua gerak dan diamnya makhluk merupakan perbuatan Allah semata, tak ada yang menandingi-Nya. Karena itu, jika kamu berbuat
demikian, berarti kamu benar-benar telah meng-Esakan-Nya.”
Pernah seseorang datang
dan meminta Dzun
Nun Al-Mishri, seorang ulama sufi Mesir untuk mendoakannya, “Doakanlah aku,”
katanya. Kemudian dijawab, “Jika engkau telah memperkuat ilmu gaib (pengetahuan
tentang masalah gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, akhirat dan lain-lain) dengan kebenaran tauhid, maka doa pasti
terkabulkan. Jika tidak, maka doa tidak akan menyelamatkan orang yang tenggelam.”
Menurut Abu Husin An-Nuri, tauhid adalah setiap
lintasan batin yang menunjuk pada Allah
tanpa disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali Ar-Rudzabari ketika ditanya tentang tauhid menjawab
demikian, “Tauhid
adalah ketetapan hati secara kontinu dan stabil akan keEsaan-Nya dengan
penetapan pemisahan pengingkaran Tuhan (ateisme) dan penyerupaan (penyekutuan
Tuhan). Tauhid mengkristal dalam satu kalimat, yaitu setiap apa yang bisa
digambarkan khayal dan akal adalah bukan Tuhan Allah. Allah Maha Suci dari
semua itu.”
“tak
ada keserupaan sedikit pun bagi-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.” (QS.Asy-Syuura:11)
Abul Qasim
An-Nashr Abadzi berkata, “Sorga itu tetap dengan penetapan-Nya, penyebutan-Nya
bagimu, rahmat dan kecintaan-Nya
untukmu adalah tetap juga dengan penetapan-Nya.
Keduanya ada antara ketetapan dan penetapan-Nya, dan penetapan yang ditetapkan-Nya.”
Ahlul Haq (kaum hakikat) mengatakan,
“Sesungguhnya
sifat-sifat Dzat Yang Qadim (Maha Dahulu) adalah tetap dengan ketetapan-Nya,
berbeda dengan yang dikatakan oleh para penentang Al-Haqq.”
An-Nashr Abadzi berkata, “Engkau
terombang-ambing antara sifat-sifat perbuatan dan sifat Dzat. Keduanya adalah
sifat Allah yang mempertegas kehakikatan-Nya. Jika kelinglunganmu karena
kecintaanmu pada Allah berada di maqam (tingkat posisi kema’rifatan) perpisahan, maka
kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat perbuatan-Nya, dan jika pencapaianmu
sampai di maqam jam’i (terkumpul atau penyatuan hamba dengan Allah), maka
kedekatanmu terjadi dengan sifat-sifat Dzat-Nya.”
Abu Ishaq Al-Asfarayaini, seorang guru spiritual bergelar imam,
menuturkan kisah perjalanan spiritualnya, “Ketika
tiba dari Bagdad, aku mengajar di Masjid Naisabur tentang masalah ruh. Aku jelaskan
bahwa ruh adalah makhluk. Saat itu Abul
Qasim An-Nashr Abadzi yang
sedang duduk berjauhan dari majelis kami memperhatikan kalimat-kalimatku dan melewatinya
bebera hari hingga batas waktu tertentu yang membuatnya tak kuasa untuk tidak
mengatakan perubahan jiwanya kepada Muhammad
Al-Farra’. ‘Saya bersaksi,’ akunya, ‘bahwa saya
telah menjadi seorang muslim yang baru melalui tangan laki-laki itu,’ lanjutnya sambil menunjuk ke arahku.”
“Kabarkan padaku tentang Allah,” Tanya seseorang
kepada Yahya bin Mu’adz.
“Dia Tuhan Yang Esa.”
“Bagaimana Dia?’”
“Dia Raja Yang Berkuasa.”
“Di mana Dia?.”
“Di tempat pengintaian.”
Penanya itu tidak puas dengan jawaban Ibnu Mu’adz. “Aku tidak bertanya
kepadamu tentang itu,” katanya kemudian. “Apa ada selain itu.”
Ibnu Syahin pernah
bertanya kepada Imam Al-Junaid
tentang makna ma’a
(bersama), lalu oleh beliau dijawab, “Ma’a mempunyai dua arti. Bersama para
Nabi, ma’a berarti pertolongan dan perlindungan, berdasarkan firman Allah SWT:
“Sesunggunya
Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat.” (QS.Thaha:46).
Kedua, ma’a
(bersama) umum adalah ma’a yang berarti ilmu pengetahuan Allah dan peliputan, dengan dasar
firman-Nya:
“Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya.” (QS.Al-Mujadalah:7).
Kemudian Ibnu Syahin berkata, “Orang seperti
anda patut menjadi penunjuk bagi umat menuju Allah.”
· Iman
· Rezeki
· Kufur
· Arasy
No comments:
Post a Comment