‘Arasy
Ar-Risalatul Qusyairiyah fi 'Ilmit Tashawwuf |
Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya seseorang tentang ayat yang
berbunyi:
“Tuhan
Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arasy.” (QS.Thaha:5)
Lalu dijawab: “Dzat-Nya tetap, tempat-Nya tidak ada, sebab Dia ada dengan Dzat-Nya, sedang segala sesuatu ada dengan hukum-Nya menurut kehendak-Nya.”
Sedangkan menurut Asy-Syibli firman itu bermakna: Ar-Rahman
bersifat kesenantiasaan (tidak bergeser), Al-Arasy (singgasana-Nya) bersifat baru, dan Arasy pada Ar-Rahman bersemayam. Adapun Ja’far bin Nashr mengartikannya bahwa ilmu-Nya menyeluruh dengan segala sesuatu. Karena itu, tak ada sesuatu
yang lebih dekat kepada-Nya dari
sesuatu yang lain.
Ja’far Ash-Shidiq berkata: “Barangsiapa
yang meyakini bahwa Allah dalam,
dari, dan di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik. Karena, jika Dia berada dalam sesuatu, niscaya Dia terkurung, jika dari sesuatu, maka Dia baru (tercipta) dan jika di atas
sesuatu, berarti Dia terpikul.”
Kemudian dia melanjutkan
dengan mengomentari ayat:
“Kemudian
dia mendekat lalu bertambah dekat lagi.” (An-Najm:8)
Menurutnya, orang yang menduga bahwa dirinya telah dekat (pada Allah) pada hakikatnya dia
menciptakan jarak. Sesungguhnya kesaling-dekatan seorang hamba dengan Allah adalah
ketika kedekatan dari-Nya setelah
kejauhanan dari macam-macam pengetahuan, karena tak ada yang dekat dan jauh.
“Hakikat
kedekatan,” kata Al-Kharraz, “adalah
hilangnya rasa pada sesuatu dari hati berganti ketundukan nurani kepada Allah.”
Suatu saat Ibrahim AL-Khawwash melihat sesuatu
yang aneh. “Saat
aku berhenti di hadapan seorang laki-laki yang barusan dibanting setan,” kisahnya, “aku bermaksud
mengazaninya melalui telinganya. Tiba-tiba setan menegurku dari rongga
badannya, ‘Tinggalkan dia! Aku akan membunuhnya
karena ucapannya yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk,’”
Menurut Ibnu Atha’ bahwa Allah ketika menciptakan huruf, bagiannya diciptakan pula rahasia
dan ketika Adam AS telah tercipta, Allah menebarkan rahasianya ke dalam
dirinya dan tidak kepada satu malaikat pun. Lalu huruf-huruf itu berjalan di
lidah Adam AS dengan hukum pembiasaan
dan undang-undang bahasa, lalu oleh Allah
dilengkapi dengan bentuk.
Bagi Ibnu Atha’ huruf adalah makhluk. Karena itu, Sahal bin Abdullah berpendapat bahwa huruf-huruf merupakan lidah
perbuatan, bukan lidah zat, karena huruf itu sendiri berbuat yang diperbuat (aktif dalam kepasifan, tidak bergerak
dengan sendirinya).
Tawakal kaitannya dengan
tauhid menurut Imam Al-Junaid ketika
menjawab beberapa pertanyaan penduduk Syam
adalah perbuatan hati. “Tawakal adalah
perbuatan hati, sedangkan tauhid ucapan hati,” begitu katanya.
Husin bin Manshur berkata, “Barangsiapa
mengetahui hakikat tauhid, pasti akan gugur darinya pertanyaan mengapa dan
bagaimana.”
Al-Wasithi berkata: “Allah tidak
menciptakan sesuatu yang lebih mulia dari ruh.”
No comments:
Post a Comment