Al-Qabdhu dan Al-Basthu

   Dua istilah tersebut merupakan dua keadaan (hal) setelah seorang hamba terjauhkan (telah melampaui dalam pendakiannya) dari dua keadaan (hal) yang lain, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Al-Qabdhu (tercekam yang melebihi ketakutan seorang hamba membuat dirinya seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah) bagi seorang yang talah mencapai derajat ma’rifat (al-‘arif), kedudukannya sama dengan al-khauf bagi seorang musta’rif (pemula, yaitu istilah bagi seorang hamba yang baru menjalani laku batin atau memasuki dunia sufi atau thariqah). Begitu juga dengan al-basthu bagi al-‘arif kedudukannya sederajat dengan ar-raja’ bagi al-musta’rif.
   Adapun perbedaan antara al-qabdhu dan al-basthu dengan al-khauf dan ar-raja’ terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas pendakian seorang hamba dalam pencapaian derajat ma’rifatullah. Al-khauf merupakan sesuatu yang hanya terjadi di masa yang akan datang. Mungkin ketakutannya (al-khauf) itu berupa kekhawatiran akan kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang ditakutinya. Demikian pula dengan ar-raja’, kejadiannya berupa keinginan (cita-cita) akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaspadai (dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpeliharaan al-musta’rif dari yang dibencinya.
   Sedangkan al-qabdhu merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan masa yang akan datang dan lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu. Orang ang mengalami al-khauf dan ar-raja’, hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi atau yang dimaksudkannya. Sedangkan orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan kehadiran al-warid (yaitu, sesuatu yang datang atau kehadiran suasana batin yang mendominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu dan al-basthu itu sendiri). Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu berbeda-beda menurut perbedaannya dalam al-hal. Barangsiapa yang kehadiran al-warid, maka dia diwajibkan menjadi genggaman, namun masih tetap terbenam pada sesuatu yang lain, karena dia belum memenuhinya, sementara orang yang terkondisikan dalam genggaman ( tercekam dalam ketakutan yang sangat karena Allah), maka dia tidak terbenam (terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid) dalam hatinya, karena keseluruhan dirinya sudah terambil (terkuasai) dengan kehadiran yang “hadir” (berupa rasa ketakutan atau al-qabdhu yang menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya terkuasai oleh sifat “Qabidh”-Nya, yaitu Sang Penggenggam).
   Demikian pula dengan hamba yang terlapangkan (al-mabsuth). Dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).

   Saya pernah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Sejumlah orang pernah mengunjungi Ali Abu Bakar Al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang anak laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak (berupa sesuatu yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia tenggelam dalam permainan bersama kawan-kawannya, pengunjung tersebut terenyuh dan perihatin melihat keadaan Al-Qahthi, lalu bergumam, ‘Miskin… Guru ini benar-benar miskin. Bagaimana dia sampai tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’ Begitu masuk di kediaman Al-Qahthi, pengunjung itu tidak menemukan satu pun alat penghibur (sarana dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan berkata, ‘Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (Al-Qahthi) yang gunung pun tidak akan mampu mempengaruhi.’ Kemudian Al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati) sesuatu.’
   Di antara unsur-unsur terdekat yang mengharuskan kehadiran suasana al-qabdhu adalah kehadiran al-warid (mungkin berupa kesadaran emosi keagamaan atau suasana batin yang menyiratkan kesan makna khauf, segan dan tercekam terhadap Allah) pada hati seorang hamba yang memunculkan isyarat kecaman (teguran dan kritikan terhadap diri sendiri dalam rangka penyempurnaan kehidupan keagamaannya) atau lambang (isyarat perbaikan moral) kritikan diri yang melangkah pada perbaikan diri hamba, sehingga dalam hati tidak terjadi lagi keharusan al-qabdhu (mengalami peningkatan maqam setelah al-qabdhu).

   Kadang-kadang beberapa al-warid yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada Allah, atau kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan terjadinya al-basthu (kelapangan) dalam hati. Karena itu, dalam rantau kesatuan rasa, kehadiran al-qabdhu bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthu’nya, begitu juga dengan al-basthu, kehadirannya tergantung al-qabdhu.
   Terkadang pula al-qabdhu yang terbentuk berdasarkan suatu sebab, oleh pemiliknya (salik yang mengalaminya) tidak diketahui apa bentuk sebab dan yang mewajibkannya (kehadiran al-qabdhu). Maka, bagi salik yang mengalami semacam ini seharusnya bersikap pasrah pada keadaan (membiarkan rasa al-qabdhu mengkondisikan hatinya) hingga waktu berlalu. Karena jika dia memaksa untuk menghilangkannya atau melompati waktu (berpindah pada maqam berikutnya, sementara maqam yang sedang terjadi belum terkuasainya) sebelum kehancuran al-qabdhu dengan penentuan alternatif yang dikehendakinya sendiri, maka rasa al-qabdhu semakin bertambah. Bahkan, sikap pemaksaan semacam ini termasuk etika sufi yang buruk. Sebaliknya, jika dia pasrah pada hukum waktu, maka secara pelan dan pasti al-qabdhu itu akan hilang karena Allah telah berjanji dalam firman-Nya:
“Dan, Allah Dzat Yang Menggenggam (Al-Qabidh), dan Yang Melapangkan (Al-Basith). Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:245)

   Maqam al-basthu seringkali datang secara tiba-tiba dan spontan.dia datang dan menubruk salik secara tak terduga sehigga tidak diketahui apa sebabnya. Dia bergerak, menguasai dan memberi inspirasi salik yang didatanginya. Karena itu, bagi salik yang mengalami semacam ini sebaiknya diam dan menjaga serta meniti-niti perilaku batinnya (juga zhahirnya). Pada saat demikian dia mengalami goncangan batin dan kekhawatiran yang sangat besar. Karena itu, ajaran sufi mengajarkannya supaya hati-hati dan waspada pada tipudaya (hati atau rasa) yang halus dan samar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh segolongan kaum sufi, “Telah dibukakan padaku pintu al-qabdhu, lalu aku tergelincir pada kekeliruan sehingga menutupi maqamku. Karena itu, diamlah di maqam al-bisath dan waspadailah kegembiraan yang meluap (tak terkontrol)”
   Ahli hakikat mengategorikan dua keadaan, al-qabdhu dan al-basthu sebagai bentuk gangguan (proses penyucian diri yang mesti dilalui) yang dimohonkan kepada Allah supaya dilindungi dari bahaya keduanya. Karena, keduanya bersandar pada apa yang di atasnya (proses kelanjutannya) berupa leburnya diri salik dan masuk dalam alam hakikat yang penuh krisis dan bahaya (tipudaya hati yang amat lembut).

   Imam Al-Junaid berkata, Al-khauf yang hadir dari Allah menggenggamku dalam ketercekaman dan ar-raja’ dari-Nya melapangkanku (khauf menjadikan al-qabdhu dan raja’ membentuk al-basthu). Sedangkan hakikat mengumpulkan aku (penyatuan diri), dan Al-Haqq memisahkanku (basthu) dengan raja’ (berharap karena-Nya), maka Dia menolakku (melemparkanku) kepadaku. Jika Dia mengumpulkan dengan hakikat, maka Dia menghadirkanku (menghadiriku). Dan jika Dia memisahkanu dengan Al-Haqq (kebenaran Tuhan adalah Tuhan sendiri), maka Dia mempersaksikanku pada selainku sehingga menutupiku. Dia adalah Allah Dzat Yang Maha Luhur, Tuhan dalam segala hal yang menjadi Penggerakku tanpa memegangiku, juga mampu berbuat kasar kepadaku tanpa berjinak-jinak. Saya dengan kehadiranku merupakan selezat-lezatnya makanan akan keberadaanku. Maka kelenyapanku dariku akan menjadikan kenikmatanku dan kesirnaanku menjadikan kelegaanku.”

Ø  Waktu
Ø  Al-Maqam
Ø  Al-Hal
Ø  Nafas
Ø  Warid
Ø  Nafsu
Ø  Ruh
Ø  Sirri


No comments:

Post a Comment

Bergabunglah bersama kami dalam mengelola perdagangan Nasional.
Alat Semprot
Logam Kuningan
Sparepart Pertanian
"Kami telah siap melayani anda di Seluruh Indonesia"