Al-Maqam
Al-Maqam (untuk selanjutnya
menggunakan kata “maqam”
dengan membuang kata “Al”) adalah sebuah istilah dunia sufistik yang
menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan
oleh seorang salik (seorang hamba
perambah kebenaran spiritual dalam praktek ibadah) dengan melalui beberapa
tingkatan mujahadah secara gradual,
dari suatu tingkatan laku batin menuju pencapaian tingkatan maqam berikutnya
dengan sebentu amalan (mujahadah) tertentu, sebuah pencapaian kesejatian hidup
dengan pencarian yang tak kenal lelah, beratnya syarat dan beban kewajiban yang
harus dipenuhi. Ketika itu, seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan
untuk menduduki sebuah maqam (proses
pencarian) harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqam yang sedang dikuasainya. Karena itu,
dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyadhah.
Seseorang tidak akan
mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum
memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum dan syarat-syarat maqam yang hendak dilangkahinya atau
yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersikap qana’ah (maqam
qana’ah, yaitu kondisi batin yang puas atas pemberian Allah, meski amat kecil), sikap pasrahnya (tawakal atau maqam tawakal), tidak sah, orang yang belum mampu
berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totalitas dirinya (kemuslimannya) tidak sah, orang yang belum tobat, penyesalannya tidak sah dan orang yang belum wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum),
ke-zuhud-annya
tidak sah. Berarti, maqam zuhud,
umpamanya, tidak mungkin tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i (maqam wira’i).
Maqam, arti yang dimaksud
adalah penegakkan atau aktualisasi suatu nilai moral, sebagaimana al-madkhal (tempat
masuk), penunjukan artinya memusat pada makna proses pemasukan, dan al-makhraj (tempat
keluar) mengacu pada arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan
maqam seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqam yan diaktualkannya, mengingat
sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.
Saya pernah mendengar Asy-Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika
Al-Wasithi memasuki Kota Naisabur, dia bertanya pada para pengikut Abu Utsman, ‘Apa yang
diperintahkan guru kalian?’
‘Beliau
memerintahkan kami supaya berpegang teguh pada sikap taat dan selalu
memandangnya kurang (meski sudah berdikap taat secara optimal).’
‘Sebenarnya
guru kalian hanya memerintahkan ajaran Majusi’ sanggah Al-Wasithi, ‘Mengapa dia tidak memerintahkankalian
peniadaan diri pada pengakuan aktualisasi ketaatan (al-ghibah) dengan
memandanya sebagai perumbuhan yang wajar dan tempat proses aliran ketaatan yang
ternisbatkan hanya pada Allah.’”
Sesungguhnya maksud Al-Wasithi berbicara demikian adalah
untuk menjaga mereka dari sikap heran pada dirinya sendiri (karena sudah merasa menjalankan nilai-nilai ketaatan, yaitu ujub dalam
ibadah), supaya tidak tenggelam dalam perasaan selalu kurang atau
membiarkan gangguan kelembutan etika ibadah tetap berjalan. Itu adalah peniadaan
diri dengan pengadaan Diri Allah
dalam segala aktivitas.
Ø
Waktu
Ø
Al-Maqam
Ø
Al-Hal
Ø
Nafas
Ø
Warid
Ø
Nafsu
Ø
Ruh
Ø
Sirri
No comments:
Post a Comment